Addict dengan Internet?

Maret 13, 2008

Saya duduk sendiri di dalam kamar. Sekali-kali mengambil pensil lalu mencoba menggoreskannya pada sehelai kertas, lama-lama bosan juga. Lalu saya mencoba mengisi waktu dengan bermain gitar, lagi-lagi bosan. Kali ini beranjak ke rak buku untuk mengambil bahan bacaan, lalu berhenti begitu saja di halaman kedua. Terpikir untuk mencoba membuat paper sekolah, saya urungkan – memikirkannya saja membuat perut mual. Rasanya badan ini menjadi tidak bisa diam. Gelisah. Panas. Persis seperti orang sedang sakau.

Ingin rasanya membuka YM untuk sekedar menyapa pacar, atau melihat baris kecilnya berkedip-kedip di bawah layar – bahwa Meity dari Deventer datang untuk menyampaikan salam. Atau mungkin sekedar membuka-buka website sosial yang semakin marak belakangan ini. Hanya untuk mengecek apakah ada pesan yang ditinggalkan atau tidak.

Laptop ini biasanya menjadi teman paling setia, lho. Selalu menemani di kala saya sedang terisolasi di kota besar bernama Hamburg. Tapi nampaknya, hari ini laptop terasa begitu asing. Saya baru sadari, ternyata teman setia saya bukanlah si laptop, melainkan teknologi lain. Internet. Hari ini, hampir sepenuhnya saya lalui tanpa Internet. Tidak ada MSN. Tidak ada YM. Tidak ada Firefox. Tidak ada Skype.

Geez, ternyata efeknya lebih buruk dari yang saya bayangkan.

Gawat. Saya baru menyadari, betapa tergantungnya diri saya terhadap teknologi Internet. Rasanya mati gaya. Serasa tidak ada yang bisa dikerjakan, selain garuk-garuk kepala. Atau apakah benar begitu? Begitu addict-nya kah saya dengan dunia maya? Ah, Rasanya tidak masuk akal. Memang saya menikmati percakapan melalui YM dengan Meity atau Willy, misalnya. Atau sekedar browsing halaman-halaman menarik yang terkumpul di Digg. Atau melihat foto-foto teman di Facebook. Tapi, sebegitu harus-nya kah saya menjelajahi Internet?

Mungkin yang saya butuh bukanlah Internet, melainkan kebutuhan yang lebih mendasar. Kebutuhan untuk interaksi. Dengan sahabat, atau dengan dunia. Saya yakin, ketika Meity ‘terjebak’ selama 6 bulan di Swedia, Internet juga menjadi teman baik. Karena Internet menjadi sarana interaksi satu-satunya ketika dia sedang sendirian di kamar melewati malam. Wajar – karena setiap orang pasti butuh untuk berinteraksi. Internet hanyalah media. Dan terasa sangat berguna ketika kita terisolasi. Afterall, kita ini makhluk sosial. Kita ini manusia. Bukan eceng gondok.

Tapi mungkin tidak ada jeleknya sekali-kali hidup tanpa interaksi dengan sekitar – seperti saya sekarang ini. Lama-lama biasa juga. Tahap sakaunya juga menjadi berkurang. Mungkin kalau bisa dimetaforakan dengan dunia narkoba, tingkat saya sudah berubah dari kategori PAAP (Punten A’, Aya Putau?), menjadi sober. Saya jadi punya waktu untuk mengerjakan hal lain. Setidaknya saya berhasil menyusun satu postingan egois ini. Toch? Dan disela-sela postingan ini, saya juga sempat menyelesaikan satu komposisi Melati Dari Jayagiri pada gitar. Jadi, ada bagusnya juga. Mungkin suatu saat nanti, saya akan memutuskan untuk memutuskan koneksi Internet untuk beberapa jam saja. Untuk sekedar mengambil bir, dan duduk di luar jendela sambil menatap bintang di langit.

-K-

3 Tanggapan to “Addict dengan Internet?”

  1. willy Says:

    hmmm…saya setuju mal, kita mahluk sosial yang amat sangat butuh berinteraksi..tapi terkadang menjauh dan mempunyai waktu sendiri juga bener bgt..
    wah akan nikmat sekali jika saya ikut disana minum bir, sambil liat bintang di langit..

  2. kemalsupelli Says:

    YUK! saya tunggu di blanda.. JANJI LHO YA!


  3. saya juga menunggu anda di deventer!!


Tinggalkan Balasan ke kemalsupelli Batalkan balasan